Konvalesen Victoria

Konvalesen Victoria

SANG ayah kena Covid. Anaknya tiga. Satu anak di Atambua. Satu lagi di Amerika. Yang di Surabaya harus mencari obat yang sulit didapat: actemra. Sang ayah, Sulaiman Yusuf, 75, masuk rumah sakit di Surabaya Timur. Awalnya seperti tidak parah. Setelah dua hari di RS ternyata memburuk. Minggu pagi lalu, Vivi Sulaiman, putrinya yang di Surabaya itu, video call dengan sang ayah. Vivi kaget. Lho kok sudah pakai alat bantu oksigen. Hasil tes darah sang ayah juga mengkhawatirkan: D-Dimer 2000. IL-6 di angka 113. Vivi bicara dengan dokter: apa yang harus dilakukan. Dokter menyarankan sang ayah diinjeksi actemra. Pihak keluarga perlu menandatangani persetujuan. Itu karena, seperti dijelaskan dokter, bisa menimbulkan akibat yang fatal. Tapi kondisi sang ayah memang tidak memberikan banyak pilihan. Vivi menelepon Ivon, kakaknyi yang tinggal di Atambua. Mereka sepakat untuk menyetujui penyuntikan actemra. Toh mereka sudsh berpengalaman. Dua orang paman mereka juga pernah disuntik actemra. Lalu sembuh dari Covid. Tapi apotek di RS tersebut tidak punya actemra. Vivi diminta membantu mencarikan di luar. Apotek langganannyi dihubungi: juga tidak punya. Vivi langsung menghubungi distributor obat tersebut. Senin sore barulah obat di dapat. Harganya sudah menjadi Rp 22 juta. Sudah jauh lebih tinggi dari yang dibeli untuk sang paman. Malam itu pun actemra disuntikkan. Kondisi sang ayah drop. Lalu meninggal dunia. Rupanya begitu banyak yang mencari obat itu. Menjadi mahal sekali. Apa boleh buat demi sang ayah. Jenazah sang ayah langsung dikremasi. Abunya masih disimpan. Kelak akan dibawa ke Atambua. Sang ayah memang Tionghoa asli Atambua. Dekat dengan perbatasan Timor Leste. Ia sudah generasi ke 6 yang lahir di Atambua. Keluarga ini sudah lebih pandai berbahasa Belu daripada Mandarin. Obat actemra kelihatannya sangat populer di kalangan orang kaya. Harganya pun naik terus. Padahal tidak menjamin hasilnya.

Sumber: