Pilkada: Ajang Kekuatan Oligarki Melalui Sistem Demokrasi

Pilkada: Ajang Kekuatan Oligarki Melalui Sistem Demokrasi

Penulis: Dimas Sakti Hersetia N Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) secara langsung telah menjadi bagian dari demokrasi di Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, maka ditetapkan bahwa pemilihan kepala daerah 2 dilaksanakan secara langsung. Kemudian Undang-Undang tersebut direvisi lagi menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Dalam pemilu Partai politik merupakan senyawa yang tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan hidup system demokrasi modern, disisi lain institusi partai politik juga memegang peranan instrumental dalam menguatkan kinerja demokrasi yang sehta dan substantive. Meriam Budiarjo menyebutkan bahwa Partai politik sebagai kelompok yang terorganisir dan anggota anggotanya mempunyai orientasi, nilai nilai dan cita cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstituonal untuk melaksanakan programnya. Partai politik memiliki andil yang cukup besar dalam memberikan rokomendasi seseorang untuk turun berpartisipasi dalam pemilu, memang ada segelintir orang yang mengikuti pemilu melalui jalur perseorangan atau tidak didukung oleh partai tetapi hal itu dirasa sulit untuk memenangkan pemilu karena banyak beberapa factor yang membuat pasangan independent dapat menang di suatu pilkada. Maka dari itu partai politik dalam pilkada selalu mempunyai andil yang besar dalam pemenangan di pemilu, apalagi ketika partai politik sudah menunjuk kadernya untuk maju dalam pilkada mereka akan membuat strategi apapun agar mereka memenangkan pilkada dan memperoleh kekuasaan politik, merebut kedudukan politik dengan cara konstituonal untuk melaksanakan programnya, karena itu adalah sifat alamiah partai politik menurut Miriam Budiarjo. Dalam pemilihan kepala daerah kerap kali banyak pasangan yang maju dari kalangan keluarga pemimpin sebelumnya, entah dari anaknya, istrinya bahkan sampai menantunya, fenomena ini sering kali masyarakat menyebutnya sebagai dinasti politik karena mereka menganggap bahwa pemimpin sebelumnya menyerahkan tonggak kekuasaan kepada kerabat terdekat mereka sendiri meskipun melalui mekanisme pemilihan secara umum. Memang didalam penunjukan keikut sertaan pilkada partai politik biasanya melakukan fit and proper test diinternal partai sebelum mereka memberikannya kepada DPP (Dewan Perwakilan Pusat) yang berwenang memberikan rekomendasi bahwa mereka dapat mengikuti pemilu melalui partai yang bersangkutan. Tetapi pemimpin sebelumnya juga memiliki andil yang cukup besar agar keluarganya bisa ikut serta dalam pemilu, dengan mendompleng nama pemimpin sebelumnya. Fenomena ini adalah hal yang banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia ketika anak dari pemimpin sebelumnya boleh mengikuti pemilu kepala daerah, memang secara Undang Undang tidak ada yang dilanggar dalam praktik ini, tetapi menurut saya secara nilai demokratis hal ini sedikit mencederai karena terbatasnya ruang ketika masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam pencalonan kepala daerah. Sempat pada tahun 2016 ada wacana bahwa anak atau kerabat dari Kepala Daerah dilarang mencalonan diri untuk maju dalam pilkada untuk meminimalisir terjadinya praktik dinasti politik, tetapi hal itu ditolak oleh Mahkama Konstitusi karena beranggapan membatasi hak asasi manusia dalam berpolitik. Dengan digagalkannya peraturan tersebut pada akhirnya banyak dari kerabat kepala daerah ikut berpartisipasi dalam pencalonan kepala daerah, dengan embel embel menjual nama besar keluarga mereka melakukan kampanyenya dengan tim suksesnya untuk meyakinkan kepada masyarakat agar memberikan hak pilihnya kepada mereka. Sebenarnya banyak factor yang membuat masih ditemukannya praktik dinasti politik disuatu daerah, masyarakat juga tidak bisa 100 % disalahkan dengan munculnya fenomena ini karena masih ada andil partai politik dalam penunjukan pencalonan kepala daerah, disini terlihat bahwa partai politik masih belum bisa menghilangkan budaya patron yang mengarah kepada dinasti politik, padahal diera demokrasi partai harus bersifat terbuka dalam memilih pemimpin dan stukturalnya dan bukan berasaskan kekeluargaan. Maraknya budaya dinasti politik diberbagai daerah di Indonesia pada akhirnya memperlihatkan ketidak sehatan dalam berdemokrasi, karena terbatasnya ruang ruang gerak masyarakat dalam mengikuti pemilihan kepala daerah karena partai menganggap factor figure keluarga sangatlah berpengaruh dalam pemilihan kepala daerah dan pada akhirnya partai pun memilih jalur aman untuk memenangkan pilkada dengan cara memberikan rekomendasi kepada orang yang memiliki hubungan kerabat dengan pemimpin sebelumnya. Hal ini sangatlah berdampak buruk bagi kader kader partai yang sudah mengikuti sebagaian mekanisme didalam partai agar bisa berjuang menjadi kepala daerah melalui partai, tetapi hal tersebut mereka akan tergusur oleh keluarga yang memiliki power didalam satu daerah tersebut dan juga Mengentalnya politik kekeluargaan dalam pilkada langsung akan membahayakan proses demokrasi yang sedang berlangsung. Pilkada yang semestinya ajang demokrasi bagi seluruh masyarakat akhirnya terrenggut menjadi pesta bagi oligarki untuk mendapatkan kekuasaan. Masyarakat yang semestinya bisa bertarung secara sehat didalam pesta demokrasi. Pada akhirnya benar apa yang dikatakan oleh Wasito Raharjo bahwa,

Sumber: