Dewan Pers Ingatkan Media tak Ungkap Identitas Korban dalam Berita KBG
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (kiri) dalam acara “Aksi dan Kolaborasi Pentahelix: Penguatan Media dan Pers dalam Pencegahan dan Respon Kekerasan Berbasis Gender” di Jakarta, Senin (30/9/2024). (Foto: ANTARA)--
JAKARTA,CIANJUREKSPRES.DISWAY.ID - Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengingatkan media massa untuk tidak mengungkapkan identitas korban di dalam pemberitaan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) untuk mencegah reviktimisasi pada korban.
Kerahasiaan yang wajib dijaga media massa tidak hanya nama korban, termasuk nama inisial, melainkan juga nama orang tua, alamat rumah atau domisili, hingga alamat sekolah atau kantor. Menurut Ninik, pengungkapan identitas korban dapat menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran pada korban yang ingin melanjutkan kasusnya ke ranah hukum.
“Identitas korban itu tidak hanya soal nama. Ini sangat merugikan korban karena di satu sisi korban ingin melupakan dan keluar dari peristiwa itu dengan berbagai cara pemulihan yang akan dia lakukan,” kata Ninik dalam acara “Aksi dan Kolaborasi Pentahelix: Penguatan Media dan Pers dalam Pencegahan dan Respon Kekerasan Berbasis Gender” di Jakarta, Senin 30 September 2024.
Ninik mengatakan, riset pada 2022 menunjukkan banyaknya pemberitaan yang turut mengungkapkan identitas korban. Riset ini dilakukan Dewan Pers bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tidar yang menganalisis pemberitaan kekerasan seksual terhadap sembilan media online.
BACA JUGA:Upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan RI di IKN, Pakibraka Tingkat Pusat Terbagi Dua Tim
BACA JUGA:Staf Khusus BPIP: Mari Keluar dari Mentalitas Manusia Terjajah
Melalui metode data crawling berita kasus kekerasan seksual pada sembilan media online sejak Januari 2020 hingga Juni 2022 itu ditemukan sebanyak 212 artikel berita yang menyebutkan identitas korban.
Selain identitas korban, Ninik juga mengingatkan bahwa pengungkapan nama pelaku kekerasan berbasis gender harus berhati-hati. Pers harus memikirkan nasib keluarga pelaku yang dikhawatirkan dapat menjadi korban lanjutan dan mendapat stigma dari masyarakat, padahal mereka belum tentu bersalah.
Ia menambahkan pengungkapan identitas pelaku juga tidak jarang menjadi pintu masuk yang mendorong publik untuk menelusuri identitas korban. Sebab, imbuh Ninik, akan selalu ada pihak pelaku dan korban di dalam sebuah tindak kejahatan atau kekerasan berbasis gender.
“Pertanyaannya adalah apakah korban sudah siap atau tidak peristiwanya dibuka. Terkadang korban tidak siap. Kalau tidak siap, jangan dibuka dulu pelakunya,” ujar Ninik yang pernah menjabat Komisioner Komnas Perempuan pada periode 2006-2009 dan 2010-2014.
BACA JUGA:Uni Eropa: Aliansi Global 'Wajib Dibentuk' Wujudkan Palestina Merdeka
Masih berdasarkan riset Dewan Pers bersama Universitas Tidar, ditemukan sejumlah kata kunci dalam pemberitaan yang mengandung pelabelan atau stereotyping, diskriminasi, marginalisasi, hingga penghakiman kepada korban (victim blaming).
Ninik pun mengingatkan pentingnya pers memperhatikan narasi yang disampaikan kepada publik terkait kasus kekerasan berbasis gender. Dalam konteks isu kekerasan berbasis gender, jangan sampai pers ikut menjadi buzzer yang hanya mengejar jumlah pembaca dan penonton.
Sebagai pilar keempat demokrasi, Ninik mengingatkan bahwa pers memiliki peran di dalam upaya penghapusan diskriminasi. Ia pun menegaskan bahwa penggunaan bahasa yang tidak responsif gender sebetulnya tidak boleh dilakukan jurnalis. Kode Etik Jurnalistik juga harus senantiasa dipatuhi oleh jurnalis.
“Kalau saudara share kemudian menyakiti satu korban, hak korban itu meskipun satu korban itu adalah hak asasi manusia yang harus diperhatikan. Jadi harus hati-hati. Jangan hanya bicara cuan (bisnis media) saja soal ini,” kata Ninik.
Sumber: antara