KDRT, Khilaf atau Kebiasaan?
Pelaku KDRT bisa berubah? (Pixabay)--
CIANJUR, CIANJUREKSPRES- Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) belakangan menjadi isu yang terus diperbincangkan masyarakat. Bagaimana tidak, kasus ini menyeret pasangan selebriti Lesti Kejora dan Rizky Billar.
Meski Lesti Kejora telah mencabut laporan dugaan KDRT yang dilayangkan pada suaminya Rizky Billar, namun masyarakat masih dihantui rasa penasaran. Akankah sang suami melakukan kembali perilaku yang sama?
BACA JUGA:Intel Polisi Nyamar jadi Tukang Cilor, Tangkap Pelaku Perampokan Toko Emas di Tangsel
Menyoal KDRT bukan hanya terjadi antara pasangan suami istri, namun juga bisa terjadi pada anggota keluarga lain seperti anak, orangtua, keponakan hingga cucu.
Kekerasan yang dimaksud pun bukan hanya secara fisik namun juga kekerasan psikologis dan seksual. Selain itu KDRT bisa berupa tindakan manipulasi, menguasai, mengontrol hingga menyalahgunakan keuangan pasangan atau keluarga lainnya.
Biasanya pelaku KDRT didominasi oleh pria dan mayoritas korbannya ialah wanita. Hal ini lantaran budaya patriarki yang masih kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat.
BACA JUGA:4 Fakta Kiki Amalia Dilamar Pengusaha Batu Bara, Sudah Diincar Sejak Lama
Lantas apakah perilaku KDRT merupakan khilaf atau justru kebiasaan?
Dilansir dari Klikdokter, tindakan KDRT dapat terjadi karena adanya perasaan untuk melampiaskan stres akibat tekanan pekerjaan, ekonomi maupun sosial.
Selain itu, KDRT dapat terjadi karena pelaku yang memiliki masalah kesehatan mental, kepribadian narsistik, antisosial, maupun kebiasaan menyalahgunakan alkohol dan narkotika.
BACA JUGA: Terkuak, Jadi Penembak Akhir Peluru Ferdy Sambo Tembus Bagian Kepala Belakanga Brigadir J
Bahkan hal tersebut bisa terjadi karena pelaku pernah mengalami kekerasan di masa lalu.
Menurut Amie Zarling, profesor dan psikolog klinis di Iowa State University, pada dasarnya kebiasaan KDRT tidak disebabkan oleh satu faktor saja. Perilaku negatif tersebut bisa muncul karena akumulasi atau gabungan dari banyak hal.
Pada pria, Zarling mencontohkan, kekerasan merupakan cara untuk mengatasi emosi yang tidak menyenangkan, seperti perasaan rapuh, malu, cemburu maupun cemas.
Sumber: klik dokter