Lalu pada pembentukan Destana. Taufik menyebutkan jika perangkat desa masih kurang kesadarannya bahkan terkesan acuh tak acuh untuk mengerahkan warganya dalam sosialisasi Destana.
"Destana itu harusnya disampaikan dengan mengundang masyarakat. Tapi saat kita sosialisasi kebencaan pembentukan Destana, yang hadir justru perangkat desa lagi atau orang-orang yang mudah untuk dihadirkan, tidak mau repot. Akhirnya masyarakat tak menerima ilmu pencegahan dan kesiapsiagaan. Padahal kalau terjadi bencana, mereka justru yang akan lebih repot," jelasnya.
BACA JUGA:Sempat Hilang, Nelayan Agrabinta Cianjur Ditemukan Meninggal Dunia
BACA JUGA:Satreskrim Polres Cianjur Ringkus Enam Tersangka Pencuri Spesialis Alfamart dan Indomaret
Padahal, dengan memanfaatkan anggaran yang minim ini pihaknya berupaya untuk membuat lebih banyak masyarakat memahami soal kebencanaan, maka mereka sedikit banyak paham soal tata cara penyelamatan diri secara mandiri.
Selain itu, hingga saat ini belum ada satu teknologi pun yang bisa memprediksi secara tepat kapan dan di mana bencana akan terjadi.
"Maka saat terjadi bencana yang sering kali datang secara tiba-tiba dan dalam tempo yang cepat, kita sendiri lah yang bisa menyelamatkan diri sendiri. Tidak bisa kita bergantung pada aparat karena pasti butuh waktu menjangkau lokasi kejadian bencana," ungkap Taufik.
Padahal sejak 26 April 2007 pemerintah mengesahkan UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (PB). Menandai berubahnya pola pikir penanganan bencana, dari yang awalnya resposif atau menangani menjadi preventif atau pencegahan atau yang kerap disebut mitigasi.
BACA JUGA:Baru Dibangun Dua Tahun, Lab Komputer SMPN 3 Tanggeung Cianjur Ambruk
BACA JUGA:Kepala BPBD se-Indonesia Laksanakan Diklat Penanganan Bencana di Cianjur
"Maka sejak saat itu Pencegahan dan Kesiapsiagaan (PK) yang jadi prioritas. Artinya upaya sosialisasi, edukasi peningkatan kapasitas, juga simulasi harus diutamakan. Hasil dari itu semua tidak berwujud karena bentuk kemampuan dan kesiapan menghadapi bencana," ungkapnya.
Dia menilai, beberapa pihak justru masih mempertahankan pola pikir lama dengan mengenyampingkan preventif dan mendahulukan upaya-upaya responsif dalam wujud pembangunan fisik seperti pembuatan tembok penahan tanah (TPT).
"Sehingga sosialisasi, peningkatan kapasitas, dan simulasi terkesan tidak terlalu penting dan tidak diperhatikan," tandasnya.