Isra Mikraj dan Tafsir Perjalanan Menembus Langit Ketujuh
Suasana peringatan Isra Mikraj di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (27/1/2025). (Foto: ANTARA)--
JAKARTA,CIANJUREKSPRES.DISWAY.ID - Isra Mikraj adalah kisah yang telah diceritakan berulang-ulang dengan beragam tafsir, dari yang sederhana hingga yang paling filosofis.
Kisah tentang perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu naik ke langit ketujuh dalam pertemuan yang melampaui batas ruang dan waktu, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban Islam.
Namun, di balik narasi agung itu, tersimpan makna yang lebih dalam, lebih dari sekadar mukjizat fisik dan lebih dari sekadar perjalanan satu malam.
Ustadz Dr KH Khoirul Huda Basyir, Lc, M.Si dalam salah satu kajiannya pernah menyebut perjalanan ini sebagai perjalanan meninggalkan bumi yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf dan semua umat Islam untuk mendapatkan maqam tinggi berupa ridha dan ma’rifat Allah.
BACA JUGA:Bukan Hanya Susu, Banyak Alternatif Sumber Protein untuk Gizi Anak
BACA JUGA:Berkumur Bisa Bantu Lindungi Diri Dari Virus HMPV
Saat direnungkan kembali, Isra Mikraj menyimpan makna yang amat dalam sebagai laku spiritual yang tak hanya terjadi di masa lalu, tetapi terus berulang di dalam setiap pencarian manusia akan makna kehidupan, seperti sebuah cermin yang merefleksikan diri.
Perjalanan itu dimulai dalam gelap, dalam sunyi, dalam kehampaan yang sesungguhnya. Malam, dengan segala keheningannya, menjadi latar bagi sebuah keajaiban yang melampaui nalar manusia.
Gelap bukan sekadar ketiadaan cahaya, tetapi juga ruang perenungan dan ruang kosong yang memungkinkan seseorang untuk melihat sesuatu yang tak terlihat di siang hari.
Dalam gelap itu, Nabi Muhammad dijemput oleh Buraq, makhluk yang digambarkan bercahaya, bergerak lebih cepat dari kilatan petir. Tetapi, bukankah ini metafora bagi jiwa manusia yang mencari cahaya di antara kelamnya kehidupan?
BACA JUGA:Kementan Impor 200 Ribu Sapi Perah untuk Program MBG Hingga Akhir 2025
BACA JUGA:Disdikpora Cianjur Sebut Pelaksanaan Makan Bergizi Gratis di Bawah Kewenangan BGN
Setiap perjalanan spiritual, dalam bentuk apapun, selalu dimulai dari kegelapan, dari kebingungan, dari ketidakpastian, dari pencarian yang terus-menerus akan jawaban.
Isra Mikraj bukan hanya tentang Nabi Muhammad, tetapi juga tentang manusia dan pencariannya. Setiap orang memiliki "Buraq"-nya sendiri, entah itu dalam bentuk ilmu, kebijaksanaan, atau pengalaman hidup yang mengantarkan mereka menuju pemahaman yang lebih tinggi.
Tidak ada perjalanan yang benar-benar seketika, tidak ada lompatan yang tanpa dasar. Setiap langkah menuju pemahaman yang lebih tinggi selalu diawali dengan perjalanan panjang di bumi, dengan pijakan kuat pada realitas.
Masjidil Aqsa
Sebelum naik ke langit, Nabi Muhammad terlebih dahulu melewati Masjidil Aqsa, tempat berkumpulnya para nabi.
BACA JUGA:Pentingnya Menjaga Asupan Kalori Pada Saat Kehamilan Cegah Janin Kecil
BACA JUGA:Puluhan Kades di Cianjur Ikuti Pendampingan Hukum Pengelolaan Dana Desa
Sebuah pertemuan simbolik yang menunjukkan bahwa setiap perjalanan menuju kebenaran tidak pernah terputus dari masa lalu, dari sejarah, dari jejak-jejak kebenaran yang telah lebih dulu hadir.
Tetapi, bagian yang paling menakjubkan dari Isra Mikraj bukanlah perjalanannya, melainkan apa yang ditemukan di ujung perjalanan.
Di Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad bertemu dengan Dzat Yang Maha Agung, dalam keheningan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Ini adalah momen puncak dari pencarian manusia, pertemuan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, pertemuan dengan hakikat yang selama ini dikejar, dengan kebenaran yang tak lagi bisa dijelaskan oleh logika manusia.
BACA JUGA:Dietisien: Variasi Menu MBG Dapat Penuhi Asupan Gizi Meski Tanpa Susu
BACA JUGA:Euphoria Anniversary Roofpark 9th: Puncak Perayaan Penuh Kreativitas dan Kolaborasi
Setiap orang, dalam hidupnya, menginginkan satu hal yakni pemenuhan, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar yang selalu menghantui.
Dan jawaban itu, sering kali, bukan dalam bentuk kata-kata, melainkan dalam bentuk kesadaran, dalam bentuk pemahaman bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang bisa dijangkau oleh akal manusia.
Isra Mikraj bukan hanya tentang menembus batas fisik, tetapi juga tentang menembus batas diri, menembus sekat-sekat yang selama ini menghalangi manusia untuk melihat lebih luas, lebih dalam.
Dalam setiap tahap perjalanan langit yang dilalui Nabi Muhammad, ada simbolisasi yang dapat direnungkan dengan dalam.
BACA JUGA:Turnamen Esports Chapter 8 Games dan Log In Cafe: Bangkitkan Antusiasme Gaming Konsol di Cianjur
BACA JUGA:Trophy-Cal Local Fest: Perayaan Tahun Baru 2025 Penuh Kreativitas di Hotel Sangga Buana Cianjur
Langit pertama hingga ketujuh bukan sekadar tingkatan ruang, melainkan tahapan kesadaran. Manusia sering terjebak dalam batas-batas duniawi, dalam ego, dalam keterikatan pada hal-hal yang fana.
Perjalanan naik ke langit adalah perjalanan melepaskan, satu per satu, segala keterikatan yang menjerat, hingga akhirnya mencapai titik di mana yang tersisa hanyalah kesadaran murni akan keberadaan Tuhan.
Perintah Salat
Perjalanan kemudian tidak berhenti di langit. Nabi Muhammad kembali ke bumi, membawa perintah salat. Di sinilah letak kebijaksanaan terdalam dari Isra Mikraj.
Perjalanan spiritual yang sejati tidak berhenti pada ekstasi atau pengalaman mistis semata. Perjalanan itu harus kembali membumi, harus menemukan bentuk konkret dalam kehidupan nyata.
BACA JUGA:Libur Nataru, Pengunjung Objek Wisata Danau Cigunung Tugu Melonjak
BACA JUGA:Produk Perawatan Kulit Dari Bahan Alami Diprediksi Populer Selama 2025
Salat, yang diperintahkan langsung dalam pertemuan ilahi itu, bukan sekadar ritual, tetapi jalan agar setiap manusia dapat mengalami Isra Mikraj mereka sendiri.
Setiap kali seseorang berdiri dalam salat, ia tengah melakukan perjalanan, melintasi batas-batas dirinya, meninggalkan sejenak dunia yang penuh distraksi, untuk bertemu dengan keheningan, dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri.
Ada paradoks indah dalam Isra Mikraj, sebuah perjalanan yang melampaui ruang dan waktu, tetapi diakhiri dengan sesuatu yang sangat membumi, sangat dekat, sangat bisa diulang setiap hari.
Salat adalah jejak perjalanan itu, sebuah kesempatan bagi manusia untuk mengalami sejenak kebersamaan dengan Tuhan, tanpa harus menunggu mukjizat besar terjadi dalam hidupnya.
BACA JUGA:PWNU Jatim: Cara Terbaik Sikapi Pergantian Tahun dengan Muhasabah
BACA JUGA:Survei: 74 Persen Orang Indonesia Tetapkan Resolusi Kesehatan 2025
Dan di sinilah letak esensi dari seluruh peristiwa ini bahwa setiap orang, dalam kehidupannya, memiliki kesempatan untuk naik, untuk bertemu dengan makna yang lebih tinggi, untuk mengalami kehadiran Tuhan, dalam bentuk yang paling personal dan paling dalam.
Dalam dunia yang semakin sibuk, semakin bising, semakin kehilangan ruang untuk keheningan, Isra Mikraj mengajarkan umat Islam tentang pentingnya perjalanan ke dalam diri.
Bahwa sebelum mencari kebenaran di luar, sebelum menuntut cahaya dari sekitar, seseorang harus terlebih dahulu menemukan cahaya dalam dirinya sendiri.
Bahwa sebelum menaklukkan dunia, seseorang harus terlebih dahulu memahami dirinya sendiri. Perjalanan spiritual bukanlah perjalanan yang bisa diukur dengan waktu, tetapi dengan kedalaman pengalaman, dengan keterbukaan untuk melepaskan, untuk melihat lebih luas, untuk menyadari bahwa yang paling jauh bukanlah langit ketujuh, tetapi hati manusia yang tak pernah selesai dalam pencariannya.
BACA JUGA:Mengenal Varises dan Teknologi EVLA Sebagai Solusi Modern
BACA JUGA:Tip Aman dan Nyaman Berkendara Selama Musim Hujan
Isra Mikraj bukan hanya kisah yang terjadi sekali dalam sejarah, tetapi kisah yang terus berulang dalam setiap jiwa yang rindu, dalam setiap pencarian yang jujur, dalam setiap doa yang tak diucapkan tetapi dirasakan.
Di dalamnya, ada petunjuk bagi siapa saja yang ingin berjalan lebih jauh, melihat lebih dalam, dan merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan yang tampak di permukaan.
Sebab, pada akhirnya, setiap manusia adalah seorang musafir, dan kehidupan ini adalah perjalanan panjang menuju pertemuan dengan Dzat Yang Maha Pencipta, Sang Khalik.
Sumber: antara