Pakar Komunikasi: Tantangan Pers ke Depan Makin Berat

Pakar Komunikasi: Tantangan Pers ke Depan Makin Berat

Pakar komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Mute Setiansah. ANTARA/HO-Unsoed--

PURWOKERTO,CIANJUREKSPRES.DISWAY.ID - Pakar komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Mite Setiansah mengatakan bahwa tantangan pers ke depan makin berat, terutama dalam menjaga independensi jurnalis maupun perkembangan komunikasi dan informasi melalui media sosial.

"Terkait dengan independensi, tentunya tantangan akan makin besar karena 'kan memang tetap saja pers harus berada di dalam posisi yang independen, netral, dan tentunya kalau dari dahulu 'kan kita berharap pers itu betul-betul menjadi pilar keempat yang bisa mengawasi jalannya pemerintahan," kata Prof. Mite Setiansah di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis 6 Februari 2025.

Jika melihat situasi sekarang, kata dia, hal itu juga akan menjadi tantangan yang baru bagi pers Indonesia dengan kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto beserta seluruh menterinya karena dalam suasana transisi, banyak hal yang harus dilakukan oleh pers dengan berhati-hati dalam mengambil posisi tanpa mengurangi kekritisan dan kemampuan.

Meskipun tetap mempertimbangkan banyak hal, dia mengatakan bahwa pers tetap tidak bisa meninggalkan fungsi sebagai pilar keempat di dalam mengawasi bagaimana jalannya pemerintahan.

BACA JUGA:MK Putuskan Sengketa Pilkada Cianjur 2024 Tidak Dapat Diterima, Jubir Paslon Wahyu-Ramzi: Sudah Terprediksi

BACA JUGA:Gerindra Undang Megawati Hingga Jokowi Hadiri HUT pada 15 Februari

"Jadi, bagaimanapun pers itu tetap menjadi harapan kita, andalan masyarakat, untuk bagaimana kita bisa membuat pers itu untuk tetap bisa mengawal berbagai kebijakan, program yang dilaksanakan oleh Pemerintah betul-betul untuk kesejahteraan masyarakat," katanya.

Terkait dengan perkembangan komunikasi dan informasi melalui media sosial, menurut dia, jika pers masih dimaknai sebagai jurnalistik yang konvensional seperti halnya zaman dahulu berupa media cetak atau media massa, sudah pasti karakteristiknya berbeda.

Dalam hal ini, media massa merupakan lembaga pers dengan karakteristik yang sangat ketat sehingga tidak semua orang bisa mendirikan atau membuat media maupun konten.

"Kalau pers masih kita pahami seperti itu, akan kesulitan menghadapi situasi dengan perkembangan media sosial sekarang, setiap orang bisa menjadi kreator, bahkan bisa menjadi owner (pemilik, red.) dari media," katanya menjelaskan.

BACA JUGA:Presiden dan PM Anwar Kompak Tertawa Karena Kelakar Minta Mobil F1

BACA JUGA:Formappi: Publik Tunggu Perubahan DPR Jika Ingin Kepercayaan Naik

 

 

Ketika pers dimaknai sebagai media massa seperti zaman dahulu, kata Prof. Mite, hanya orang-orang tertentu yang bisa memiliki akses. Namun, saat sekarang, semua orang punya kesempatan untuk membuat konten, menjadi kreator, bahkan menjadi pemilik media.

Oleh karena itu, kata dia, pers mau atau tidak mau juga perlu memperluas lingkup, karakteristik, dan melakukan metamorfosis.

"Di dalam media, kita juga mengenal ada mediamorfosis, bagaimana media itu juga harus berubah karena 'kan katanya memang yang abadi justru adalah perubahan itu sendiri. Kalau mau terus eksis, ya harus berubah," katanya.

Menurut dia, perubahan tersebut dapat dilakukan dengan mempelajari bahasa maupun karakter media sosial agar tulisan-tulisan atau konten yang dibuat tetap bisa menjangkau publik sebanyak-banyaknya.

BACA JUGA:Dr Karlina Sebut Perguruan Tinggi Tidak Berwenang Urus Tambang

BACA JUGA:Prabowo Soroti Peran RI-Malaysia Produsen 80 Persen Sawit di Dunia

Dengan demikian, tulisan-tulisan atau konten yang disajikan oleh pers tetap menarik dan tidak kalah dengan kehadiran media sosial.

"Di satu sisi, bagaimana menyikapi kultur user, pengguna media, yang maunya serbacepat, instan. Kadang-kadang ketika belum jelas informasinya, beredar banyak berita hoaks," katanya.

Akan tetapi, kata dia, hal itu lantas dimaknai sebagai sebuah kebenaran karena mereka hanya algoritma media sosial atau digital sehingga akhirnya hanya memberikan informasi yang sesuai dengan keyakinan masing-masing pengakses media sosial.

Oleh karena itu, pers tentu juga harus memahami adanya kultur dan karakteristik dari pengguna media sosial bahwa algoritma sudah mengarahkan mereka pada informasi-informasi yang sesuai dengan minat atau seleranya.

BACA JUGA:Mensesneg Sebut Prabowo Kirim Karangan Bunga untuk Ultah Megawati

BACA JUGA:Komisi II DPR: Pelantikan Kepala Daerah Bersengketa Tunggu Putusan MK

"Itu juga menjadi suatu hal yang perlu disikapi oleh pers, bagaimana kemudian jangkauan kewenangan, misalnya dari Dewan Pers, dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) itu bisa mengantisipasi karakter-karakter atau kultur baru yang ada di tengah masyarakat terkait dengan media sosial ataupun media digital yang ada," katanya.

Menurut dia, setiap media yang hadir pasti akan membentuk kulturnya sendiri sehingga pers harus menyesuaikan ke situ dan tidak seolah-olah hidup dalam dunia yang berbeda dengan media sosial.

Terkait dengan Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari, dia mengatakan banyak seiring dengan perkembangan media itu sendiri, pers pun perlu melakukan metamorfosis agar bisa mengikutinya.

"Hal itu agar fungsi-fungsi idealisme dari pers bisa terus dijaga sekaligus menyesuaikan diri, beradaptasi dengan perkembangan media dan penggunanya sekarang," kata Prof. Mite.

Sumber: antara