Banner Disway Award 2025

Mengembalikan Arah Konservasi Gunung Gede Pangrango

Mengembalikan Arah Konservasi Gunung Gede Pangrango

Ilustrasi Gerbang masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). (Foto: Dok/CIANJUR EKSPRES)--

CIANJUREKSPRES.DISWAY.ID - Gunung Gede dan Pangrango bukan sekadar sepasang gunung kembar yang menjulang gagah. Ia adalah sistem hidup yang menopang keberlanjutan air, udara, pangan, dan energi bagi masyarakat sekitarnya, dari Cipanas hingga Cibodas, dari Sukabumi hingga Cianjur. 

Ia adalah sumber kehidupan dan ruang belajar ekologis. Namun kini, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: kawasan ini perlahan berubah dari penyangga kehidupan menjadi panggung eksploitasi bersama. Ambisi wisata massal telah melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan. Konsekuensinya sangat jelas penurunan kualitas air, erosi tanah, gangguan terhadap satwa liar, dan rusaknya kesucian ekologis kawasan.

Fungsi yang Terbalik

Taman Nasional, menurut undang-undang dan logika konservasi, memiliki urutan fungsi yang sangat jelas: penelitian, pendidikan, baru kemudian wisata alam. Namun, realitas di lapangan berkata lain. Angka pendaki dan atau wisatawan jauh melampaui jumlah kegiatan riset dan edukasi. 

Sebaliknya, pengelolaan pendidikan dan penelitian fungsi paling mulia dari sebuah taman nasional hanya mendapat porsi kecil dan nyaris simbolis. Jika ini terus dibiarkan, maka kawasan Gede Pangrango tak ubahnya seperti tempat wisata umum, bukan kawasan konservasi strategis nasional. Fungsi hutan sebagai laboratorium alami hidup terancam sirna.

Risiko Daya Dukung yang Terlampaui

Ketika daya dukung ekologis dilanggar, dampaknya bukan hanya pada kawasan itu sendiri, tapi juga pada masyarakat yang menggantungkan hidup pada jasa lingkungannya. Gangguan fungsi hutan sebagai penyimpan dan penyeimbang air, misalnya, berdampak langsung pada pasokan air pertanian, air minum, bahkan mitigasi bencana di wilayah hilir. Ini bukan soal “boleh atau tidak wisata”, tapi soal pengaturan dan proporsi yang tepat. Kawasan konservasi bukan berarti anti-manusia, melainkan pro-kehidupan berkelanjutan. Dan wisata hanya benar-benar ramah jika ia tidak mengorbankan ekosistem.

Tragedi Sumber Daya Bersama

Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut para ahli sebagai “tragedy of the commons”: ketika sesuatu dimiliki bersama, dan semua pihak berlomba mengambil manfaat tanpa kesepakatan batas, akhirnya semua pihak akan kehilangan. Akses terbuka tanpa pengaturan ketat membuat kawasan ini kehilangan identitas konservatifnya. Wisata menjadi dominan, penelitian dan pendidikan tertinggal, dan konservasi hanya menjadi pelengkap dokumen.

Harapan dan Jalan Perbaikan

Pemerintah sejatinya telah mengambil beberapa langkah: pembatasan kuota pendakian, pelarangan sampah plastik, hingga penerapan booking online. Namun realitas di lapangan belum sebanding dengan tingkat tekanan ekologis yang dihadapi. 

Oleh karena itu, tulisan ini adalah ajakan terbuka kepada seluruh pihak pemerintah, akademisi, komunitas lokal, media, dan pelaku wisata untuk menempatkan kembali fungsi kawasan sesuai esensinya: tempat pendidikan, penelitian, dan wisata yang benar-benar lestari.

Arah Konservasi Masa Depan

Kita memerlukan pengelolaan berbasis data daya dukung dan daya tampung yang aktual, bukan hanya berdasar pada potensi ekonomi sesaat. Kita memerlukan revitalisasi riset dan pendidikan di kawasan ini. Kita memerlukan sistem wisata yang benar-benar bijak: kuota terbatas, zonasi ketat, edukasi wajib, dan pelibatan masyarakat lokal sebagai penjaga bukan korban. Kolaborasi adalah kunci. Dengan pengetahuan lokal, pendekatan ilmiah, dan teknologi monitoring yang inklusif, kita bisa menjadikan kawasan ini sebagai percontohan konservasi berkeadilan di Indonesia. 

Sumber: