Menelusuri Jejak Sejarah 'Tatar Santri', Asal Moela Tjiandjoer

Menelusuri Jejak Sejarah 'Tatar Santri', Asal Moela Tjiandjoer

LOGO Cianjur Kiwari--

TJIANDJOER Loh Djinawi atau yang kini disebut Cianjur Sugih Mukti, sebuah kabupaten di tanah Pasundan yang ditetapkan lahir pada 12 Juli 1677.

 

 

Di momen Hari Jadi Cianjur (HJC) yang ke 347, Cianjur Ekspres mencoba mencari tahu asal mula terbentuknya Kota Tatar Santri ini. Sebagai pengingat sejarah (history) dan jadi pengetahuan (knowledge).

 

 

Kami mendatangi satu Cagar Budaya Nasional, rumah peninggalan Bupati Cianjur 1862-1910 Raden Aria Prawira Diredja II, Bumi Ageung Cikidang yang ada Jalan Moch Ali, Kelurahan Solokpandan, Kecamatan Cianjur.

BACA JUGA:Dinkes Cianjur Minta Lahan Luas Milik Puskesmas Dijadikan Taman Lansia

 

Di sana, kami bertemu cicit Bupati Cianjur ke 10, Raden Pepet Djohar (78) yang dengan senang hati membeberkan semua pengetahuan yang ada di kepalanya.

 

 

Mulai dari asal mula nama Tjiandjoer, penamaan beberapa kampung yang ada di Cianjur, penetapan HJC, hingga sejarah lainnya yang belum tentu diketahui masyarakat.

 

Meluruskan Sejarah

 

 

Raden Pepet Djohar atau yang akrab disapa Kang Pepet mengatakan, ada beberapa versi asal muasal terbentuknya Cianjur yang beredar, yang disebutnya ‘melenceng’ dengan cerita aslinya.

BACA JUGA:RIMBA Soroti Persoalan Pengelolaan Sampah di Kawasan Situs Gunung Padang Cianjur

 

 

“Seperti Cianjur terbentuk saat Ki Ahmad dan tukang periuk, menancapkan sebatang kayu lalu keluar air. Bahkan cerita itu tertulis di buku yang sudah beredar di Dinas Pendidikan,” kata Kang Pepet membuka pembicaraan.

 

Gara-gara buku yang diterbitkan oleh sejarawan dari universitas ternama di Bandung itu, dirinya menjadi sorotan banyak pihak terutama dari kalangan sejarawan Cianjur lain juga keluarganya. Pasalnya, namanya jadi narasumber satu-satunya.

 

 

“Saya pun meminta bukunya tak disebar luaskan lagi. Pada para pengunjung Bumi Ageung pun saya kerap meluruskan sejarahnya,” ungkap pria kelahiran 1946 itu.

BACA JUGA:Perolehan Zakat Fitrah Kabupaten Cianjur Naik Capai Rp17 Miliar

 

 

Hingga akhirnya, R Luki Muharam pun membuat buku Cianjur Dari Masa Ke Masa yang terbit pada 2020, meralat buku yang terbit pada masa pemerintahan bupati Wasidi Swastomo (2001-2006).

 

Tjiandjoer

 

Pepet tak lantas memulai cerita sejarah Cianjur dari Raden Aria Wira Tanu I atau Jayasasana atau Sembah Dalem Cikundul. Melainkan dari anaknya, Wiramanggala atau Raden Wira Tanu Datar II atau Dalem Pamoyanan Tarikolot.

 

 

“Saat itu dia masih dengan orangtuanya, Dalem Cikundul dan di tinggal di Cibalagung. Dia ‘ngababakan’ atau membuka lahan untuk sawah,” kata Kang Pepet.

BACA JUGA:671 ASN Pemkab Cianjur Masuk Masa Pensiun

 

Saat membuka lahan, Dalem Pamoyanan didatangi orang tua tak dikenal memberi anjuran. Saat itu belum ada nama Tjiandjoer.

 

 

Isinya ‘lamun hayang maju, pindah ka palebah kidul sari ngulon. Teangan keur puseur dayeuh, pangguyangan Badak Putih, taneuh bahe ngetan’.

 

 

“Kalau mau maju, pindahkan (negeri) ke sebalah selatan sedikit ke barat. Carilah tempat untuk ibukota atau nol kilometer, tempat berkubang Badak Putih, hamparan tanah menurun ke timur,” ungkapnya.

BACA JUGA:Tingkatkan Profesionalisme Babinsa, Kodim 0608/Cianjur Gelar Latnister

 

Memang posisi Cianjur sesuai dengan gambarannya jika dilihat dari Cibalagung. Sementara Situs Pangguyangan Badak Putih berlokasi di Jalan Siti Jenab, tepat di samping Pendopo Kabupaten Cianjur.

 

 

“Dulu memang di sini ada Badak Putih, tempat berkubangnya di lokasi yang kita kenal sebagai Jalan Siti Jenab. Dulu ada mata air. Beberapa orang bilang badak putih yang dimaksud adalah orang Belanda, karena perawakannya yang besar dan putih kulitnya. Padahal bukan,” jelas Kang Pepet.

 

 

Dirinya meyakini, jika spesies megafauna langka dan terancam punah itu pernah ada di Cianjur, namun kini semuanya berada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Banten.

BACA JUGA:Cerita Unik Petugas Pantarlih Cantik Sukanagara, Coklit di Kuburan Hingga Diajak Nikah

 

 

Sementara, maksud dari hamparan tanah yang menurun ke timur, merupakan lokasi perkotaan Cianjur saat ini yang cenderung berada di sebelah timur Gunung Gede.

 

Awalnya, Raden Wiramanggala membuka lahan pertama di Kampung Muka. Muka, kata dia, berasal dari Bahasa Sunda artinya membuka.

 

 

“Di situlah Dalem Pamoyanan membuka lahan pertama kali,” ungkap Kang Pepet.

 

 

Lalu, Bupati Kedua Cianjur itu membuka lahan di Kampung Sayang Heulang atau yang kini diketahui sebagai Jalan Bypass/Dr Muwardi.

BACA JUGA:Kasus Dugaan Pencabulan Anak di Bawah Umur di Cugenang Sita Perhatian P4AK dan KPAD Cianjur

 

Kata dia, penamaan sayang heulang karena daerah tersebut banyak terdapat sarang burung elang.

 

Lalu terus ke barat ke arah Panembong. Nama panembong dari kata katembong, artinya terlihat. Di situ Raden Wiramanggala melihat dan menyadari jika datarannya menurun ke arah timur, seperti yang disampaikan orang tua sebelumnya.

 

Lantas, dirinya melanjutkan pembukaan lahan ke arah tenggara, Selakopi. Kata Kang Pepet, Raden Wiramanggala menamai selakopi karena dirinya melihat bunga kopi yang terselip di antara sela-sela pohon salak.

 

Tak sampai di situ, Raden Wiramanggala kembali membuka lahan ke arah selatan hingga bertemu sungai besar. Kini dikenal sebagai Sungai Cianjur.

BACA JUGA:Cegah Judi Online, Pemkab Cianjur Bakal Pasang Baliho Larangan di Kecamatan dan Desa

 

 

“Di situ awal mula nama Tjiandjur dan Pamoyanan. Pamoyanan artinya tempat berjemur saat kedinginan setelah berenang di sungai,” kata Kang Pepet.

 

 

“Sementara Tjiandjoer terpikir oleh Dalem Pamoyanan saat menangis di sisi sungai. Air matanya jatuh ke sungai saat mengingat anjuran dari orang tua untuk pindah dari Cibalagung ke tempat dia berada. Muncullah kata Tjiandjoer. Hingga akhirnya pemerintahan pun pindah di tempat yang kini diketahui sebagai Pendopo,” kata dia.

 

Kenapa 12 Juli 1677

 

Bagaimana para ahli sejarah, para menak dari bupati-bupati, Rumpun Wargi Cianjur (RWC) di berbagai daerah, pemerintah, juga pihak lainnya dulu menetapkan tanggal Hari Jadi Cianjur pada 12 Juli 1677?

BACA JUGA:Sudah Tiga Bulan, Otak Tahanan Kabur dari PN Cianjur Belum Tertangkap

 

 

Padahal, sebelumnya berbagai kelompok berselisih. Ada yang usul 10 Desember 1691, bertepatan dengan pindahnya Dalem Pamoyanan dari tempat asalnya di Cibalagung, Kecamatan Mande ke Kelurahan Pamoyanan, Kecamatan Cianjur.

 

 

Ada pula kelompok lain yang usulkan Hari Jadi Cianjur pada 27 Januari 1680, ditandai dengan Bupati Priangan yang menyerah pada Hindia Belanda saat peperangan antara Dalem Wira Tanu I dengan Kesultanan Banten.

 

 

 

Kang Pepet pun menjelaskan jika penanggalan diambil dari saat daerah-daerah di bawah Kesultanan Mataram berkumpul dan rapat di Jepara, Jawa Tengah pada 2 Juli 1677.

BACA JUGA:Asrama Putra Ponpes Al-Hijrah Bojongpicung Hangus Terbakar

 

“Saat itu Mataram akan diperangi Majapahit, mereka pun mengadakan pertemuan dengan orang-orang Hindia Belanda untuk membantu peperangan dengan hadiah wilayah yang ada di tanah Pasundan atau Jawa Barat,” kata dia.

 

 

Hal itu yang membuat Cianjur yang belum berdiri, tak dijajah oleh Mataram dan langsung diduduki Hindia Belanda. 

 

 

Namun karena wilayah Cianjur ada di wilayah Pasundan, maka muncul anggapan jika Pasundanlah yang dijajah Hindia Belanda.

BACA JUGA:Banyak Tangani Kasus Korupsi di Cianjur, Yudi Prihastoro Dipromosikan jadi Aspidsus Kejati Jambi

 

“Saat itu Tjiandjoer atau Cianjur itu belum ada sehingga tak tercatat oleh Mattheus de Haan, penulis dan ahli sejarah asal Belanda karena belum berdiri,” ungkapnya.

 

Pertemuan 2 Juli 1677 itu menjadi patok. Sedangkan 10 hari sisanya adalah waktu yang ditempuh dari Jepara ke Cianjur dengan berkuda.

 

“Berangkat dari Jepara pada 2 Juli sampai di Cianjur pada 12 Juli 1677, Itulah yang menjadi penanda Hari Jadi Cianjur, sesuai dengan notulen dari pertemuan para ahli sejarah, keluarga, dan pihaknya lainnya pada 12 Juli 2001,” ungkapnya.

BACA JUGA:Bupati dan Forkopimda Hadiri Acara Pisah Sambut Kajari Cianjur

 

 

Padahal, dirinya sendiri ingin Hari Jadi Cianjur ditentukan saat pelantikan Dalem Cikundul diangkat menjadi Raja Gagang tepatnya pada 22 September 1655.

 

 

“Menurut saya itu lebih gagah, dibandingkan penanggalan HJC saat menjadi jajahan Hindia Belanda,” ungkapnya. (zan)    

 

Lambang Tjiandjoer

 

* Dua ekor harimau menjaga perisai: Identitas Prabu Siliwangi* Mahkota* Dalam perisai - Badak Putih - Laut Cianjur Selatan - Gunung Gede - Kuning: padi* Loh Djinawi: kekayaan alam melimpah/subur makmur (sama dengan Sugih Mukti)

Sumber: